Daun- daun yang mulai berguguran. Padi di sekelilingku yang terus menari. Sorakan orang-orang tak berdosa yang terus menghantuiku. Sejuta tatapan bola mata bulat yang menemaniku. Hati yang seakan hampir lepas. Membuatku terus terbawa dalam kondisi ini. Hanya lorekan bola hitam putih yang kupegang.  Tak ada lagi Ibu atau ayahku yang selalu menenangkanku di semua waktu. Tak ada lagi pelukan hangat yang merangkulku. Besi putih persegi panjang inilah yang akan kuhadapi, dengan jaring bersih yang seakan belum tersentuh lumpur.  Aroma ketegangan semua rekanku juga sudah tercium disini. Kiper lawanpun terus memasang mata tajamnya yang agak sedikit melirik ke arahku.
Kutaruh bolaku di rumput hijau tak bernyawa ini.  Memandangi berbagai sudut besi. Kuambil jarak 5 meter dari teman bulatku ini, tanpa maksud meninggalkannya. Dengan sepatu kusam yang kukenakan, Kaki ini membawaku menuju bulatan Hitam putih itu. Kusentuh bola dengan setengah kakiku, dan bola menuju gawang dengan kecepatan tinggi. Namun, ada hal yang sedikit aneh dari pertandingan kali ini.
Namaku Havid Adhitama, 15 tahun, dan sekarang bersekolah di MAN 2 Banjarnegara. Hidup di sebuah Rumah tua warisan kakek nenek dengan Orang tuaku. Hari-hari selalu kujalani dengan bola hitam putihku ini. Latihan selama 8 tahun belum bisa membuatku bosan disampingnya. Tempat latihan bolaku yang tidak jauh mungkin penyebabnya. Lahir di lingkungan keluarga yang tidak menyukai Bola tetap tak mematahkan semangatku akan Permainan Bola ini. Untunglah di sekolah baruku ini ada Liga sepakbola, yang mungkin akan menjadi pembuktian latihanku selama ini. Banyak yang bilang anak IPA itu gak jago Main bola, dan selalu jadi juru kunci di Grupnya. Mungkin karena anak IPA itu terlalu banyak belajar, sampai gak pernah ngurusin permainan Bola seperti ini. Tapi, sepertinya hal itu takkan terjadi pada klubku. Gabungan antara IPA 3 dan 4, akan menjadikan klubku sebagai sang juara.
Di ligos kali ini, aku memakai nomor 24 sebagai tanda pengenal tak bernama. Nomor ini yang selalu kusandarkan di balik kaos tim. Entah mengapa nomor ini selalu menjadi pilihan utamaku. Memang aku tak pernah memenangkan suatu kompetisipun dengan nomor punggung ini. Tapi kuyakin, hal itu takkan terjadi lagi. Hal ini bisa kubuktikan dengan masuknya timku dalam Final pertandingan Ligos ini. Dan final itu terjadi pada Hari ini.
Mandi menjadi kegiatan awalku untuk memulai hari besar ini. Fisik juga Rohani sudah di persiapkan secara matang sebagai penunjang penampilan nantinya. Perjalanku menuju pertandingan ini memang tak mudah. Tak mengherankan jika juara 1 merupakan keharusan untuk kucapai. Berangkat sebelum bel sekolah dilantunkan sudah menjadi kewajibanku. Walaupun pertandingan ini dimulai setelah pelajaran Selesai, tapi apa salahnya untuk memepersiapkannya sejak awal.
Matahari sudah pada titik puncaknya, Bel sekolah di syiarkan dengan merdunya yang seakan hanya tertuju padaku. Tubuh ini langsung saja membawaku menuju tempat puncak atas semua hal yang pernah kulakukan saat ini. Puncak sebagai pembuktian atas semua kerja kerasku. Stadion besar terpampang jelas dihadapanku. Tanpa ada suruhan dari dalam tubuhku, kaki ini sudah membawaku ke dalam Stadion ini. Berjuta pasang mata mengelilingiku. Hadirnya Orang tuaku membuatku semangatku semakin menggebu-gebu.
Tak sadar, pertandingan hampir dimulai. Persiapan sudah ku terapkan dengan matang. Strategi jitu juga sudah ku sandarkan dengan tepat. Peluit di lantunkan, tanda awal kebahagiaanku dimulai. Posisiku sebagai pengatur serangan merupakan hal yang harus kuhadapi hari ini. Hingga tak lama sebelum peluit akhir babak pertama dilantunkan, kakiku sudah bisa mencetak satu gol bagi timku. Tepatnya di menit 24, atau satu menit sebelum babak bertama berakhir . dan Sayangnya, itu tak berjalan lama sampai akhir laga ini memiliki skor 2-2.
Adu pinalti terus memanggil diriku agar bisa mendatanginya. Ditunjuk sebagai penendang akhir tak membatku gentar menghadapinya. 3 penedang lawan bisa melakukan tugasnya dengan baik dan hanya 1 yang berhasil ditepis kiperku. Sementara dari timku hanya ada 2 pengeksekusi yang berhasil menuntaskan tugasnya. Hingga, tiba saatnya Aku utuk menghadapinya. Kutaruh bolaku di rumput hijau tak bernyawa ini.  Memandangi berbagai sudut besi. Kuambil jarak 5 meter dari teman bulatku ini, tanpa maksud meninggalkannya. Dengan sepatu kusam yang kukenakan, Kaki ini membawaku menuju bulatan Hitam putih itu. Kusentuh bola dengan setengah kakiku, dan bola menuju gawang dengan kecepatan tinggi. Menghujam bagian kanan kiper, tanpa bisa kiper itu menepisnya. dan Mungkin Dewi Fortuna belum datang padaku, Bola itu membentur gawang putih itu tanpa meninggalkan sedikit sayatan yang menyakitkan.
Semua usaha yang kulakukan selama ini menjadi sia-sia karena semua hal ini. Raut muka kecewa muncul dari semua rekan timku. Tak ada lagi trophy yang ku impikan selama ini. Juga dengan kekecewaan terus menghantuiku tanpa mengenal kata lelah. Memang masih ada rasa sedikit bangga dengan masuk ke pertandingan final. Tapi, kalah di pertandingan final lebih mengesankan rasa penyesalan yang lebih berat. Mungkin tahun depanlah semua keinginanku akan tercapai. Nothing is Impossible. Dan satu lagi, di akhir pertandingan ini timku kalah 2-4 dari lawan. Apakah maksud ini semua?

Created by: Muhammad Razin
Facebook: Muhammad Razin
Twitter: @muhammadrazin77
Instagram: @muhammadrazin77



Terik matahari sudah tampak dari bagian timur sana. Kuda roda duaku terus kupacu dengan kencangnya. Kubangan air jalan sudah tak bisa menghalangiku lagi. Lalu, kudengar ibu-ibu dengan kecepatan kilat yang terus membunyikan motornya dan dengan pangilan yang sedikit Mengejekku. Bulatan 2 roda di bawahku ini, membawaku semakin deras menembus angin dan membuat speedometer tak kuat lagi untuk menuliskan angkanya. Hingga tak lama kemudian, kulihat palangan polisi dengan baju kerjanya yang menghalagi jalananku. Memang ini adalah jam berangkat sekolah. Anak-anak berlalu lalang dengan santainya, seakan tak tahu bahwa gerbang sekolahku hampir ditutup.
Perjalanan terpotong lebih dari seperempat jam untuk membantu anak pembangun negara nantinya.  Memang ini hari yang cukup buruk bagiku. Berangkat sebelum ayam terbangun merupakan kebiasaanku untuk bisa menuju sekolah. Tapi entah mengapa kebiasaan itu terkikis secara perlahan seiring dengan bertambahnya jenjangku. Tak lama perjanan, lampu merah kembali nampak di depanku dengan lagak tegapnya yang tidak memperdulikanku. Sampai, seorang pengendara merah dengan motor maticnya datang ke sebelahku. Tidak lain, dia adalah ibu yag dari tadi mengejekku. Dia membuka sedikit jendela helmnya dan berkata padaku “ Mas, tadi HPmu jatuh di sebelah jembatan”.  Tanpa sempat ucapan terimakasih kulantunkan ,Tubuh ini langsung membawaku untuk berbalik arah. Di perjalanan, tak ada lagi anak-anak yang meyebrangi jalan untuk menutup jalanku. Mungkin, hal ini juga sudah terjadi di sekolahanku dan dengan pintu gerbang tuanya .
Jembatan kembali kuinjak walaupun tidak dengan 2 roda bulatku. Rerumputan merupakan tujuan utamaku. Pencarian kulakukan dengan sedikit membabi buta, dengan perasaan kesal, dan juga sedikit penyesalan. Itu adalah hp baruku yang baru saja diberikan sebagai hadiah ulang tahunku. Mungkin harus kucari sampai ke lubang cacing untuk bisa menemukannya. Rerumputan hijau ini selalu menjadi kuning saat aku melewatinya. Sampai akhirnya ada orang yang menegurku, untuk tidak mencabut semua tanaman itu. Pulang kerumah bukanlah hal yang baik lagi bagiku. Masih kuingat wajah ayahku dengan tatapan yang menusuk, kumis tebal, juga dengan badan kekarnya. Mungkin rumah kakekku merupakan satu-satunya pengaman terakhir hingga orang tuaku mengetahui kejadiannya.
Untunglah di rumah kakekku ini masih ada telepon tua yang sedikit berdebu. Panggilan tak henti-hentinya kujatuhkan pada hpku. Tapi, hanyalah jawaban dari seorang wanita pegawai operator yang kudengarkan. Sekolah tak lagi kupikirkan. Membolos memang tak pernah kulakukan sebelumnya. Tapi, bagaimapun ini adalah kondisi yang cukup genting. Walaupun ku masih punya segudang tabungan yang ku rawat dari kecil. Tapi kurasa itu masih belum cukup untuk menggantinya dengan yang baru.
Perlahan-lahan langit mulai runtuh untuk menyirami tanaman yang ada di bumi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berdiam dikamar dan melamun. Makan bukanlah hal yang mengenakkan lagi untuk kulakukan. Tak ada lagi HP disampingku membuat dunia ini seakan berhenti. Memang inilah penyakit yang banyak menghinggapi remaja masa kini. Bisingnya dering telepon tiba-tiba masuk ke gelendang telingaku. Entah siapa yang melaukan kegiatan itu, karena telepon itu hanyalah telepon tua yang tak pernah digunakan selama bertahun-tahun. Respon cepat kuberikan dengan langsung mengangkat gagangnya. Kudengar suara pria yang terus menyapaku dengan ucapan hallo. Suaranya besar dan bulat mengingatkanku untuk tidak mengangkatnya. Tapi entah mengapa tangan ini tak mau melepaskan gagangnya. Ku coba tuk ucapkan setitik kata padanya. Kemudian dari dalam telepon itu keluar suara yang mengatakan “Hallo, mas. Nih HP mas baru saja aku temukan. Mas posisinya dimana biar kuanterin Hpnya”. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan keadaan ini. Langsung saja kutanya dimana orang itu berada dan kudatangi dia dengan Kuda bermesinku.

Rumah orang itu tak jauh dari kediamanku saat ini. Hingga tak sampai setengah hari ini berjalan, aku sudah berada di depan rumahnya. Tapi apa? yang kulihat disini hanyalah rumah tua dengan alang-alang sebagai atapnya. Mungkinkah aku sedang ditipu?. Tak lama kemudian datang seorang pemuda dengan kulit putih bersih, mata bulat, bulu jambang yang cukup banyak, juga dengan tubuh yang sedikit berisi. Dia menunjukan hp yang  baru ditemukannya kepadaku, “Apakah ini hp mas?” ucapnya dengan suara yang cukup besar. Hanya dua huruf yang bisa ku ucapkan kepadanya, juga dengan ucapan terimakasih sebagai lanjutannya. Setelah itu dia mengajakku untuk makan bersamanya. Memang aku menolak ajakannya, karena dengan HP ini saja kurasa itu semua telah cukup sebagai penggambaran kebaikannya. Ucapan terimakasih kembali ku lantunkan sebelum pulang. Ya Allah! Inikah malaikat yang kau turunkan untukku?

Created by: Muhammad Razin
Facebook: Muhammad Razin
Twitter: @muhammadrazin77
Instagram: @muhammadrazin77




Bulan sudah berada pada titik terterangnya. Dentuman tembakan terus mendobrak-dobrak  gelendang telingaku. Kedua jari di tangan dan kapas selalu menjadi temanku agar bisa tidur nyenyak. Setidaknya ini berlangsung sampai adikku tidak kecanduan main game itu lagi. Kecanduannya dimulai satu tahun yang lalu, saat aku mengajarinya bermain game yang sekarang menjadi musuhku itu. Memang dulunya game itu cukup mengasikkan. Dan, seharusnya malam ini aku harus tidur segera untuk menyiapkan hari penting besok. Besok adalah final pertandingan sepakbolaku. Keahlian bermain sepakbolaku memang sudah kuasah sejak kecil.
Cerahnya matahari tiba-tiba muncul dari sela-sela jendela kamar untuk membangunkanku. Kejadian semalam sama sekali tak kuingat lagi. Jam weker antikku menunjukan bahwa ¼ hari sudah berjalan. Memang sedikit rasa ngantuk masih menempel di pelupuk mataku. Tapi apa daya, hari ini ku harus persiapkan semuanya agar bisa mengikuti pertandingan itu. Mandi, merapikan kamar, makan, menjadi langkah utamaku di hari ini. Langkah kaki yang panjang dan cepat membawaku ke tempat persiapan pertandingan finalku. Memang jaraknya tak lebih dari 100m, tapi Kedisiplinan merupakan kunci nomor satu dari pengasuh sepakbolaku. Kata telat seakan sudah lenyap dari kamus kehidupannya.
Belum sampai kakiku menginjak rumput hijau, bunyi peluit sudah terdengar di dalam daun telingaku. Dengan langkah seribu, tubuhku bisa sampai di bangku pemain cadangan. Push-up 50 kali adalah hal yang pertama kulakukan. Terlalu sering terlambat membuatku sudah agak terbiasa dengan keadaan ini. Sebenarnya aku menjadi Line-up pada pertandingan kali ini. Namun, pelatihku selalu siap dengan pemain kedua di posisiku. Di bangku pemain cadangan, kulihat banyak tatapan tajam yang menghujam tubuhku. Duduk dipojok sendiri menjadi pilihan satu-satunya. Lalu, kudengar panggilan-panggilan yang masuk ke dalam gelandang telingaku. Yaitu panggilan pelatihku. Dia meyuruhku untuk menggantikan salah satu pemain dan bertugas sebagai pengatur serangan. Belum sampai penjelasan pelatih selesai, bunyi peluit akhir babak pertama sudah diluncurkan. Dibabak pertama ini, timku lebih unggul sedikit. Unggul 1 gol membuatku cukup tenang untuk main dibabak kedua nanti.
Pemanasan yang maximal tak henti-hentinya ku layunkan, demi penampilan yang maximal juga. HIngga, Peluit babak kedua kembali di lantunkan. Wajah yang berseri-seri nampak dari raut muka teman timku. Semangat yang membara muncul dari dalam tubuhku. Permainan yang cantik menjadi gaya awal permainanku. Tapi entah mengapa gawangku selalu dihujam dengan tendangan- tendangan mematikan di tiap detik yang berjalan. Untung masih ada kiper yang bisa kuandalkan. Lesatan dua gol kemudian tersarang di gawangku. Ini mungkin kondisi terburukku dalam permainan sepakbola. “Setelah belajar selama lebih dari 8 tahun, tapi ku tetap tak bisa merubah keadaan saat ini. Ku rasa semua yang aku pelajari selama ini tak ada gunanya. Mungkin inilah akhir dari Dunia bola yang selama ini kuarungi. Mungkin “

Gooooollll!!!!
Tiba-tiba tim kami memasukkan bola ke gawang lawan. Sungguh tak pernah ku duga selama ini, karena pencetak gol itu adalah teman dekatku. Memanglah, sebelum pertandingan dia sudah berjanji padaku untuk bisa memasukkan bola ke gawang lawan. Sang penepat janji dan juga seorang pahlawan membuat semangatku kembali membara dan wajah berseri-seri muncul di atas semua perasaan yang ada. Hingga tak lama kemudian peluit tanda berakhirnya pertandingan dikumdangkan kembali sebagai tanda akhir dari pertandingan ini. Adu penalti memanggil-manggil diriku untuk mendatanginya. Ku dipilih sebagai penendang kelima. Penalti pertama hingga ke 4 berjalan dengan lancar, begitupun dengan lawanku. Hingga pegeksekusi penalti ke-5 dari lawan juga mengeksekuisi dengan tepat. Hatiku berdebar kencang sampai akan terlepas, namun ku coba tuk tetap tenangkan diri. Antara Merdeka atau Mati kata pelatihku untuk menyebutnya. Ku ambil nafas yang dalam, kemudian memilih arah yang tepat untuknya. Kupilih sisi kanan, lalu kutendang. Kiper lawan menuju arah kiri dan bola melambung ke arah yang benar. Tetapi bola tersebut hanya mengenai mistar dari gawang tersebut, mungkin dewi fortuna belum memihak Padaku.
Penyesalan memang menerpa diriku tanpa hentinya. Tapi, ku punya arti lain atas perbuatanku tadi. Ku punya arti lain dari yang dikatakan pelatihku “Merdeka atau Mati”. Merdeka saat aku kalah dan Mati saat aku menang. Kenapa? Jawabannya akan kamu ketahui sendiri saat kamu ada di kondisiku.

Created by: Muhammad Razin
Facebook: Muhammad Razin
Twitter: @muhammadrazin77
Instagram: @muhammadrazin77


Programmer adalah pekerjaan yang agak sulit ditekuni dan hanya bisa dipahami beberapa orang saja. Jadi programmer itu harus pandai – pandai mengolah otak pikirannya agar bisa membuat sebuah program yang baik. Jadi programmer itu harus teliti, satu kesalahan aja bisa bikin rusak semua script. Dan kebanyakan proggramer itu menghabiskan banyak waktunya untuk menghadap teman setianya, yaitu Laptop. Tak mengherankan bahwa banyak programmer itu Jomblo atau gak bisa nemuin pacar mereka. Ya so pasti karena mereka terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk teman mesinnya.  Tapi, hal itu tidak terjadi padaku. Karena bagiku anak programmer itu orangnya istimewa. So, aku percaya gak ada hal yang bisa dilakukan Programmer.
Namaku Muhammad Hisyam Mursyid, berumur 15 tahun, dan sudah lebih dari 2 tahun mengarungi Dunia programmer ini. 1/3 hariku kuhabiskan di depan teman bisuku ini. Kebiasaanku ini membuatku agak diasingkan dari teman-teman sekolahku dulu. Dianggap anak aneh, pendiam, dan lain-lain tetap tak membuatku patah semangat menekuni hobiku ini. Kurasa laptopku ini adalah teman sejatiku. karena, Saat diluar aku di anggap orang aneh.  Namun, di dunia maya aku dianggap sebagai The Master. Dengan semua hal yang kujalani, memang kurasakan gembira di Hati. Namun, kurasa aku masih membutuhkan sesuatu yang mengisi hati ini, yaitu Cinta.
Sekarang aku bersekolah di SMA dan masih duduk di kelas 10. Beruntunglah, di sekolah baruku ini aku tak diasingkan. Tapi aku tahu, itu takkan berjalan lama. Disini aku duduk bersebelahan dengan seorang cewek bernama Sabrina. Dia adalah orang tercerdas di kelasku, dan mungkin akan jadi saingan terberatku. Dia tak terlalu cantik, tapi sangat perhatian padaku. Dia selalu memandangku dengan mata bulatnya tiap kali aku melihatnya. Juga mengganguku dengan nada telponnya tiap malam yang selalu ku jawab dengan si reporter di Tvku. Entah mengapa, dia masih saja menelponku tiap malam. Walaupun malamku agak membosankan karena tiap hari berhadapan dengan  Layar perusak mata, tapi kurasa malamku akan lebih membosankan jika aku mengangkat telponnya.
Hari- haripun berlalu dengan sangat cepat. Dan Hari ini adalah hari pengujian belajarku selama setengah semester atau yang biasa disebut dengan UTS.  Di UTS ini bangku duduk di acak kembali, sehingga aku bisa tenang dari si parasit itu. Dan mungkin tuhan mengabulkan doaku semalam. Di UTS ini aku duduk dengan seorang wanita yang menurutku Sangat – sangat berbeda dengan yang lainnya. Parasnya yang begitu menawan, tinggi, putih, dan lainnya yang membuatku agak sedikit menaruh hati padanya. Dalam benakku hanya terdapat dirinya, yang seolah menggugah hatiku agar bisa mendapatkan dirinya.
Ulangan tiba-tiba berlalu dan waktu istirahatpun tiba. Namun, dalam otakku masih saja terbawa dengan pesona wanita itu, sampai- sampai aku tak dengar panggilan temanku yang sudah menunggu berjam-jam yang lalu. Dialah teman baruku disini. Dia bukanlah anak yang terlalu pintar, tapi di Ulangan dia selalu keluar paling awal. Silang indah selalu dia pilih untuk menyelesaikan kertas penguji otak itu. Kehidupannya yang menjadi PlayBoy memberiku sedikit kesempatan untuk belajar darinya.  Mukanya memang tak setampan Boy William, tapi entah mengapa banyak wanita yang terkagum-kagum padanya. Dia lalu memandangku dengan muka agak sedikit kesal dan setitik kata keluar dari mulutnya  “Lama” . “ Biasa lah” jawabku. Tanpa ada kata isyarat lagi, kami berdua langsung menuju kantin untuk mengisi otak low batt ini.  Aku menceritakan hal yang baru saja kutemui, dan dia memberikan respons yang cukup bagus yaitu dengan memberikan setengah keahliannya padaku.
Bulanpun datang lagi, seolah-olah tak tahu apa yang baru saja kulewatkan tadi siang. Website selalu menemaniku tiap malam, sebagai penambah keahlianku. Tapi entah mengapa, aku sedang malas membukanya. Buku pelajaranpun masih belum dinodai oleh tanganku. Walaupun tubuh ini terus memanggiliku untuk menuju ranjangnya, namun pikiranku masih terbawa oleh si Wanita itu. Akupun tidur sampai terlarut-larut oleh dinginnya Malam.
Sinar kemerah-merahan yang meroket dari ujung timur, membawa tubuhku untuk berdiri menatap serakan buku dan barangku. Mandi, merapikan kamar, sudah menjadi kewjibanku. Dengan rasa yang cukup senang, kakipun membawaku menuju ke sekolah. Duduk bersamanya kembali merupakan hal yang paling kusukai sekarang. Dengan curi-curi kesempatan, ku sering memandang wajahnya. Ya, begitulah yang kulakukan hingga istirahat jam menjemput. Ibu kantin yang sudah menungguku dari tadi, kutinggalkan sebentar untuk bertemu si wanita itu. Sekedar untuk mempraktekan sedikit tips yang diberikan temanku kemarin. Cara bicaraku yang agak sedikit canggung kepadanya, membuatku agak sedikit malu. Memang inilah cinta pertama yang kurasakan, tapi walaupun begitu aku tetap mendapatkan nomor telephonenya.
Dengan kembali mempraktekan sedikit tips dari temanku, aku menelponnya tiap malam tiba. Berbincang-bincang, ngegombal menjadi hal yang tak asing lagi bagiku. Untung saja dia tak menjadikanku seperti saat aku ditelpon oleh sabrina. Memang bukan hal yang mudah untuk mendapatkan topik yang seru saat berbicara dengannya. Malam-malamkupun berlalu seperti ini secara terus menerus, hingga tak terasa sekarang ku makin dekat dengan dirinya. Dunia programmerpun lama- lama ku lepaskan. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku padanya.
Kupanggil seluruh teman kelasku untuk membantu memberikan kejutan pada si wanita itu. Bunga, coklat, secarik puisi yang sudah kuhafalkan semalam, sudah dipersiapkan secara matang. Aku langsung menarik tangan wanita itu dan membawanya ke tengah Lapangan. Dan kurasa latihan semalam berjalan sukses, tanpa ada sedikit kesalahan. Dia mau menerima cintaku. Wow, ternyata beginilah rasanya cinta. Tak bisa diungkapkan dengan kata, namun bisa dirasakan. Sungguh benar-benar karunia Allah yang sangat luar biasa.

Namun, kebahagiaan ini tak bisa kuarungi dalam waktu yang lama. Hanya satu bulan yang bisa kutempuh bersamanya. Setidaknya aku pernah merasakan cinta anugrah tuhan ini. Sekarang ku kembali menekuni Dunia programmer, untuk mengisi kekosongan hati ini. Tak ada lagi wanita yang menempel dihatiku. Malamku pun kutempuh dengan hal yang agak sedikit membosankan. Hingga tak lama setelah itu, ada sebuah telephone masuk dari salah satu temanku. Tak dipungkiri lagi, dia adalah sabrina. Kucoba mengangkat telephone itu untuk pertama kali. Dan hal yang agak berbeda kurasakan. Ku merasa agak nyaman saat berbincang dengannya. Mungkinkah ini cinta sejati yang diimpikan banyak orang?


Created by: Muhammad Razin
Facebook: Muhammad Razin
Twitter: @muhammadrazin77
Instagram: @muhammadrazin77